Sabtu, 29 Januari 2011

Tafsir Buya Hamka bag 1 (1 dari 3)

(Daripada engkau aniaya anak yatim, lebih baik menikah dengan wanita lain walau sampai empat)

Oleh : Reza Ervani

Menjawab pertanyaan seorang komentator pada tulisan sebelumnya Grace is Gone, teringat penulis pada sejarah hidup Buya Hamka, seorang ulama besar yang bijak dalam menjawab dan menyelesaikan masalah. Insya Allah akan penulis salinkan dalam 3 episode, sebagai bahan pengetahuan bagi kita bersama.

1. Daripada engkau aniaya anak yatim, lebih baik menikah dengan wanita lain walau sampai empat
2. Satu saja agar tak banyak tanggungan
3. Kesimpulan

*****

Terkesan penulis kepada sikap bijak Buya Hamka terhadap permintaan ayahnya untuk menikah lagi. Dimuat dalam bukunya “Kenang-kenangan Hidup” halaman 36 hingga 38. Sengaja penulis salinkan disini :

Nyaris pula terancam ketentramannya dengan isterinya, karena meminta setengah memerintah kepadanya agar sudi kawin seorang lagi. Adik dari isteri beliau, bunda Hindun, yaitu bunda Jamilah mempunyai dua anak perempuan. Supaya dipilihnya salah satu. Karena beliau telah tua, lagi penyakitan, tidak ada yang akan merawat beliau. Anak beliau di rumah itu hanya seorang saja, yaitu Wadud. Anak perempuan tidak ada.

Menurut syara’ kedua anak perempuan itu tidaklah muhrim beliau. Artinya tidaklah boleh menyentuh badan beliau. Maka kalau seorang diantara gadis itu dikawininya, tentulah dia telah menjadi muhrim beliau dan laluasa merawat beliau.

Dia sangat hormat dan cinta kepada ayahnya. Tetapi dia telah bertekad dalam hati tidak akan beristeri lebih dari satu. Ratap tangis ibunya semasa dia masih kecil, tiap-tiap melepas ayahnya kawin lagi, sampai gembung (bukung) tepi matanya amatlah mengesan di jiwanya, sehingga tidak mau dia rasanya menurut kawin kedua dan ketiga itu, supaya jangan melihat tangis ibunya itu pula pada isterinya.

Dan iparnya Sutan Mansur pernah memberinya nasihat, cukuplah beristeri satu saja. Diantara kata beliau,”Cukuplah beristeri satu ! Cobalah lihat nasibku. Karena terlanjur beristeri sebahagian besar hidupku hanya untuk itu. Banyak citaku patah di tengah”. Dan kata beliau lagi : “Orang seperti kita dan terutama seperti engkau, akan cacatlah sejarahmu jika salah seorang isteri itu engkau tidak lagi memikulnya. Sebab itu engkau mesti teruskan sampai salah seorang dari kalian bertiga mati. Begitulah yang aku derita sekarang.

Sangat tersisip fatwa ipar dan gurunya itu dalam hatinya untuk selama-lamanya.

Kepada isterinya diterangkannya juga keinginan ayahnya itu. Isterinya yang baru berusia 21 tahun dan berputera tiga orang, sedang putera sulung sakit-sakitan pula sejak kembali dari Makassar, tidaklah bergila-gila, menangis-nangis mendengar berita itu, karena tahu benar sejak semula bahwa suaminya tidaklah ada keinginan menduainya dengan perempuan lain. Meskipun usianya masih begitu muda, dia merasakan bagaimana sulitnya bagi suaminya menolak permintaan ayahnya. Dan bagi dirinya sendiri terasa pula perasaan takut akan kena kutuk jika melawan kehendak guru yang terkandung dalam hati umumnya orang kampung sewaktu itu. Banyak orang kampung percaya bahwa ayahnya itu adalah Wali Allah yang kramat. Kalau kehendaknya ditantang kita bisa dapat celaka. Perasaan itupun ada pada isterinya terhadap mertuanya yang sangat diagungkan oleh orang kampungnya itu.

Kalau pada diri kawan kita ada keinginan kawin lagi, niscaya kepercayan, isterinya ini dapat diperalatnya untuk mencapai apa yang dia inginkan.

Ketika ayahnya menawarkan itu kepadanya dikutub khanah beliau pada suatu hari sesudah sembahyang ‘Ashar, dengan kata beriba hati, dia diam saja. Dia tidak menjawab menerima atau menolak. Lama dia duduk saja termenung, sampai ayahnya menyuruhnya pulang ke rumahnya.

Dia fikirkan itu masak-masak. Dia takut kalau-kalau ayahnya akan memanggilnya buat meminta jawabnya. Dia tidak sampai hati mengecewakan isterinya. Dan alangkah sedihnya jika dia pergi kawin dengan seorang anak perempuan, sedang isterinya akan selalu dikerumuni anak kecil, yang satu diantaranya sakit-sakit. Selain itu sedangkan mencari belanja sehari-hari untuk satu rumah tangga lagi susah, betapa lagi kalau rumah tangga dijadikan dua ?

Itulah satu waktu yang fikirannya benar-benar kusut !

Subhanallah …

Jadi, sungguh tak benar jika ada yang mengatakan bahwa syariat itu “buta”. Sikap Buya Hamka yang tak menjawab pertanyaan ayahnya menunjukkan betapa paham beliau tentang batasan-batasan manusia. Pula sikap ayahnya yang tidak memaksa anaknya memberikan jawaban, adalah isyarat bijaksana tentang pemahaman mereka akan agama.

Tapi tak pula berarti bahwa Buya Hamka memandang permasalahan itu dalam satu perspektif belaka. Untuk lebih adil, kita salinkan pula apa yang beliau tulis dalam Tafsir Al Azhaar Surah An Nisa ayat 2 – 3.

Diantaranya beliau mengangkat permasalahan yatim yang menjadi pangkal ayat ke – 2 dan mengkelindankannya dengan ayat 3 Surah tersebut :

…. “Sesungguhnya itu dosa yang besar” (ujung ayat 2)

Menjadi dosa besarlah perbuatan itu. Baik menukar hartanya yang baik dengan hartamu yang buruk, atau dengan mencampur adukkan harta mereka dengan hartamu dengan maksud hendak menghilang-larutkan. Karena itu bukan namanya menolong dan memelihara, tetapi menggolong dan membawa mara.

Menyerahkan harta mereka ialah dengan dua jalan. Sebelum mereka dewasa dan dapat mengendalikan harta mereka sendiri, yang diberikan ialah makan mereka, pakaian dan biaya-biaya mereka, misalnya biaya pendidikan mereka. Memberikan yang kedua ialah setelah mereka dewasa dapat berdiri sendiri, dengan sendirinya hilanglah hak penjagaan wali atas dirinya. Maka seketika penyerahan itu janganlah hendaknya membawa kecewa dalam hatinya.

“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil (bila menikahi) anak-anak yatim, maka nikahilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi; dua, tiga atau empat. ” (pangkal ayat 3).

Dalam pangkal ayat ini kita bertemu lanjutan tentang memelihara anak yatim dan bertemu pula keizinan dari Tuhan untuk beristeri lebih dari satu, sampai dengan empat.

Untuk mengetahui duduk soal, lebih baik kita terangkan tafsiran dari Aisyah, isteri Rasulullah sendiri, tentang asal mula datangnya ayat ini, karena menjawab pertanyaan Urwah bin Zubair, anak Asma saudara Aisyah.

Urwah bin Zubair ini sebagai anak kakak Aisyah, kerapkali bertanya kepada beliau tentang masalah agama yang musykil. Urwah bin Zubair adalah murid Aisyah. Maka ditanyakanlah bagaimana asal mula orang dibolehkan beristeri lebih dari satu, sampa dengan empat dengan alasan memelihara anak yatim. (Riwayat dari Bukhari, Muslim, an Nasa-i, Al Baihaqi dan tafsir dari Ibnu Jarir)

Maka pertanyaan Urwah bin Zubair itu dijawab oleh Aisyah : “Wahai kemenakanku ! Ayat ini mengenai anak perempuan yatim yang di dalam penjagaan walinya, yang telah bercampur harta anak itu dengan harta walinya. Si wali tertarik kepada hartanya dan kepada kecantikan anak itu, Maka bermaksudlah dia hendak menikahi anak asuhannya itu, tetap dengan tidak hendak membayar mas-nikahnya secara adil, sebagaimana pembayaran mas-nikahnya dengan perempuan lain. Oleh karena niat yang tidak jujur ini, dilaranglah dia melangsungkan pernikahan dengan anak itu, kecuali jika dibayarkan mas-nikah itu secara adil dan disampaikannya kepada mas-nikah yang layak menurut patutnya (sebagaimana kepada perempuan lain). Dan daripada berbuat sebagaimana niatnya yang tidak jujur itu, dia dianjurkan lebih baik menikah saja dengan perempuan lain, walaupun sampai empat (Hadits ini kita salin dengan bebas, supaya tepat maknanya dan dapat dipahami).

Lalu Aisyah meneruskan pembicaraanya: “Kemudian ada orang meminta fatwa kepada Rasulullah saw tentang perempuan-perempuan itu sesudah ayat ini turun. Maka turunlah ayat (Surah An Nisa ini juga ayat 127). “Mereka meminta fatwa kepadamu tentang orang-orang perempuan. Katakanlah: Allah akan memberi keterangan kepadamu tentang mereka, dan juga apa-apa yang dibacakan kepadamu dalam kitab (ini) dari hal anak-anak yatim perempuan yang kamu tidak mau memberikan kepada mereka yang diwajibkan untuk mereka, padahal kamu ingin menikahinya.” Maka kata Aisyah selanjutnya,”Yang dimaksud dengan yang dibicarakan kepadamu dalam kitab ini ialah ayat yang pertama itu, yaitu “jika kamu takut (tidak *pen) akan berlaku adil (bila menikahi) anak-anak yatim, maka nikahilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi.” Kata Aisyah selanjutnya : Ayat lain mengatakan : “Dan kamu ingin bernikah dengan mereka”. Yaitu tidak suka kepada anak yang dalam asuhannya itu karena hartanya sedikit dan tidak berapa cantik. Maka dilaranglah dia menikahi anak itu selama yang diharapkan hanya harta dan kecantikannya. Baru boleh dia nikahi kalau mas-nikah dibayar secara adil”.

Dalam satu hadits shahih yang lain pula disebutkan riwayat yang lain dari Aisyah. Dia berkata,”Ayat ini diturunkan mengenai seorang laki-laki. Dia mengasuh anak yatim perempuan, dia walinya dan dia warisnya. Anak itu mempunyai harta dan tidak ada orang lain yang akan mempertahankannya. Tetapi anak itu tidak dinikahinya, sehingga berakibat kesusahan bagi anak itu dan rusaklah kesehatannya. Maka datanglah ayat ini : “Dan jika kamu takut tidak akan berbuat adil (bila menikahi) anak-anak yatim, maka nikahilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi.” Maksudnya : “Ambil mana yang halal bagi kamu dan tinggalkan hal yang berakibat kesusahan bagi anak itu.”

Dan ada pula riwayat lain yang shahih pula yang ada hubungan antara ayat ini dengan ayat lain, yaitu : “Dan juga apa-apa yang dibacakan kepada kamu dari kitab (ini) dari hal anak-anak yatim perempuan, yang kamu tidak mau memberikan kepada mereka yang diwajibkan untuk mereka, padahal kamu ingin menikahinya.” Kata Aisyah : “Ayat ini diturunkan mengenai anak yatim perempuan yang tinggal dengan seorang laki-laki yang mengasuhnya, padahal hartanya telah diserikati pengasuhnya, sedang dia tidak mau menikahinya dan tidak pula melepaskannya dinikahi oleh orang lain. Jadi harta anak itu diserikatinya sedang diri anak itu ditelantarkannya, dinikahinya sendiri tidak, diserahkannya supaya dinikahi orang lainpun tidak.”

Setelah menilik ketiga riwayat yang shahih dari Aisyah ini, kita mendapat satu kesimpulan mengapa ada hubungan antara perintah memelihara anak yatim perempuan dengan keizinan beristeri lebih dari satu sampai dengan empat.

Di sini kita telah mendapat pokok yang pertama, ialah sebagai sambungan dari ayat 2 yang sebelumnya tentang memelihara harta anak yatim. Pada ayat 2 itu telah dijelaskan dan diperingatkan jangan sampai ada aniaya dan perlakuan curan terhadap anak yatim, sebab itu adalah dosa yang amat besar. Akan datang masanya, bahwa hartanya mesti diserahkan kepadanya, sebab dia akan menikah. Tetapi datanglah “gangguan” ke dalam pikiranmu. Satu antara gangguan itu, kamu berkata dalam hati : “Lebih baik anak ini aku nikahi saja, sehingga dia tidak keluar lagi dari rumahku ini. Hartanya tetap dalam genggamanku dan mas-nikahnya bisa di”permain-mainkan: atau disebutkan saja dalam hitungan, tetapi tidak dibayar, atau sebab dia sudah isteriku, tentu berhak atas hartanya. Kecantikannya bisa kupersunting, hartanya bisa kukuasai, mas-nikahnya bisa dibayar murah !”

Ini adalah satu pikiran yang tidak sehat. Pikiran sehat yang timbul dari iman dan takwa adalah : Lebih baik menikah saja dengan perempuan lain, bayar maharnya dengan patut, biar sampai empat orang, daripada berlaku seperti itu kepada anak perempuan yatim yang dalam asuhanmu.

Atau timbul pikiran yang lebih jahat lagi, nikahi saja dia, mas-kawinnya tak usah dibayar, sebab tidak ada orang lain yang akan menentang.

Atau pikiran jahat yang lain lagi, hartanya telah dipegang dalam tangan, menikahinya tidak mau karena tidak cantik, sedang memberikannya dinikahi orang lain tidak mau pula, karena ingin hartanya.

Maka daripada melangsungkan segala pikiran jahat ini, lebih baiklah menikah saja dengan perempuan lain, biar sampai empat. Sebab sikap-sikap yang salah dan perilaku yang tidak jujur kepada anak yatim perempuan itu adalah dosa besar. Lebih baik aman memegang amanat harta anak itu. Kalau akan dinikahi, nikahilah secara jujur, bayarkan maharnya sebagaimana mestinya seperti dibayarkan kepada perempuan lain, Hartanya tetap hartanya, walupun dia isterimu sendiri kelak. Serahkan yang haknya karena bila telah bersuami, dewasalah ia.

Dan lebih tegas lagi : “Kalau ada keinginanmu hendak menikahi anak yatim perempuan itu, sedang kamu takut akan memperingan-ringan saja harta bendanya, sebab dia telah jadi isterimu, sehingga termakan olehmu hartanya itu, maka janganlah menikahinya. Nikahilah perempuan lain, biar sampai dengan empat.”

Dari ayat ini kita mendapat kesan yang mendalam sekali. Daripada sampai menganiaya anak yatim, lebih baik menikah sampai empat, walaupun menikah sampai dengan empat itupun satu kesulitan juga.

Dan dengan ayat ini pula kita bertemu dengan pepatah bangsa kita,” Sekali membuka pura, dua tiga hutang terbayar. Sekali merengkuh dayung, dua tiga pulau terlampaui.” Artinya dalam satu ayat kita bertemu dengan perintah memelihara anak yatim yang amat dirasakan, dan kebolehan beristeri sampai dengan empat.(rezaervani.wordpress.com)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berikan Komentar Anda dan Berbagilah Di Sini.