Sumber : maritimenesia.com |
Sejarah berdirinya kerajaan Sriwijaya memang tidak banyak ditulis dalam kitab-kitab khusus kerajaan atau karya sastra tradisional. Keberadaan kerajaan ini lebih banyak diketahui dari sejumlah catatan perjalanan kuno dan prasasti-prasasti peninggalan kerajaan tersebut.
Salah satu bukti berdirinya kerajaan Sriwijaya diperoleh dari sebuah catatan perjalanan seorang pendeta Tiongkok bernama I-Tsing, Dia menceritakan bahwa dirinya mengunjungi Sriwijaya pada tahun 671 dan menetap di sana selama enam bulan.
Bukti lainnya tertera dari prasasti Kedukan Bukit yang berangka tahun 683 Masehi dan ditulis dalam bahasa melayu kuno. Dalam prasasti tersebut diceritakan bahwa utusan kerajaan Sriwijaya yang disebut Dapunta Hyang, mengadakan perjalanan suci bersama 20.000 pasukan untuk menaklukkan sejumlah daerah.
Selain kedua bukti tersebut, masih banyak prasasti-prasasti lainnya yang juga menceritakan dan membuktikan tentang eksistensi dan kejayaan Sriwijaya.
Pusat kerajaan Sriwijaya diketahui berada di sungai Musi, antara bukit Seguntang & Saboliking, tepatnya di sekitar situs karang Anyar. Hal ini dipastikan dari citra foto udara berupa situs buatan manusia seluas 20 hektare, dengan dua pulau berbentuk bujur sangkar dan empat buah persegi panjang, serta sejumlah benda peninggalan lainnya.
Kekuatan Militer Sriwijaya
Berbeda dengan kerajaan-kerajaan lainnya di nusantara yang bersifat agraris, Sriwijaya menjadi kerajaan pertama dan terbesar yang mengembangkan kekuatan maritim di Asia tenggara.
Sriwijaya sadar betul bahwa untuk memperluas kekuasaannya ia harus menguasai laut dan wilayah-wilayah penting yang ada di sekitarnya. Itu sebabnya kerajaan ini melakukan ekspansi militer ke Kerajaan Melayu dan Tulang Bawang.
Dengan menguasai dua kerajaan tersebut, Sriwijaya berhasil menguasai dua titik penting perdagangan, yaitu Selat Malaka dan Selat Sunda yang merupakan tempat persinggahan pertama kapal-kapal yang datang dari samudra Hindia
Sriwijaya menjadikan dirinya bandar utama di Asia tenggara dan menetapkan kebijakan wajib singgah bagi setiap kapal yang melintas.
Sejumlah armada perang pun disiapkan untuk mengawal kapal-kapal yang berada di sekitar perairan Sriwijaya. Jika ada kapal yang tidak singgah saat melintasi perbatasan, maka kapal tersebut akan ditenggelamkan.
Pada abad ke-8 seluruh jalur perdagangan di Asia tenggara telah berhasil dikuasai, yaitu meliputi Selat Sunda, Selat Malaka, Selat Karimata, dan Tanah genting Kra.
Tidak hanya itu, Sriwijaya juga menjalin hubungan diplomatik khusus dengan India dan Cina. Secara periodik kerajaan ini mengirimkan utusan khusus ke negara tersebut dan menyerahkan sejumlah upeti. Hal ini dilakukan sebagai strategi untuk mendapatkan persetujuan dagang dan perlindungan dari serangan musuh, termasuk ketika terjadi penyerangan dari Jawa pada tahun 992M.
Tahun 682, di masa pemerintaahn Sri Jayanasa, Sriwijaya pernah mengirim ekspedisi militer untuk menghukum Bhumi Jawa yang dianggap tak berbakti. Kerajaan Tarumanagara ( Jawa Barat ) dan Kalingga pun runtuh dikuasai Sriwijaya .
Setelah ekspansi ke Jawa dan Semenanjung Malaya, Sriwijaya mengendalikan dua pusat perdagangan utama di Asia Tenggara. Pelabuhan Cham, timur Indochina ( abad 7 ) yang mulai mengalihkan banyak pedagang di Sriwijaya diserang Dharmasetu ( maharaja Sriwijaya ). Kota Indrapura di tepi Sungai Mekong, jatuh ke tangan Sriwijaya. Langkasuka di Semenanjung Melayu, Pan Pan dan Trambralinga pun di bawah pengaruh Sriwijaya.
Putri Raja Kien-pi ( Jambi ), bawahan Sriwijaya, menulis surat dan menyerahkan 227 tahil perhiasan, rumbia dan 13 potong pakaian pada kaisar Yuan Fong ( China ) pada tahun 1082.
Menurut sumber Tiongkok ( buku “Chu-fan-chi” ), tahun 1178, di kepulauan Asia Tenggara, ada 2 kerajaan yang sangat kuat dan kaya, yakni : San-fo-ts’i ( Sriwijaya ) yang memeluk Budha, dan Cho-po ( Jawa ) yang memeluk Hindu dan Budha.
Sriwijaya ( masa Dharmasraya ) membawahi 15 daerah : Kamboja, Tambralingga ( Thailand ), Chaiya, Langkasuka, Kelantan, Pahang, Terengganu, ( muara sungai ) Dungun, Cherating, Semawe, ( sungai ) Paha, Lamuri ( Aceh ), Palembang, Jambi dan Sunda ( Sin-t’o )
Sumber : .jejaktapak.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berikan Komentar Anda dan Berbagilah Di Sini.