Sabtu, 29 Januari 2011

DR. Abdurrahman Riesdam Effendi dan isterinya DR. Gina Puspita

Sebelum kita bahas topik yang agak menggoda ini, saya akan berbagi sedikit dengan rekan-rekan sekalian tentang pertemuan paman saya tercinta dengan duta Jama��ah Rufaqa�� yang merupakan metamorfosa dari Jama��ah Darul Arqam pimpinan Syaikh Muhammad Ashari at-Tamimi Malaysia.



Paman saya adalah seorang dokter ahli bedah orthopedic lebih khususnya lagi tulang belakang. Ia tinggal di Pontianak, di mana yang namanya tarekat menjamur. Paman saya ini juga seorang penganut tarekat, tapi kalau ditanya tarekat mana, dia masih mencari yang cocok. Walau memang ada seorang mursyid dari golongan Habaib yang menjadi panutannya, tapi untuk saat ini ia masih menjadi seorang ��Pencari��. Dalam pencariannya ini ia berkenalan dengan Jama��ah Rufaqa��. Singkat cerita, ia disuruh menghadap langsung pada duta jama��ah tersebut yang mungkin sudah sangat terkenal di dunia poligami, yaitu DR. Abdurrahman Riesdam Effendi dan isterinya DR. Gina Puspita. Kedua orang doktor ini adalah lulusan Prancis dengan predikat summa cum laude. DR. Abdurrahman sebagaimana Bpk. Puspo Wardoyo, memiliki 4 orang isteri, dan yang menariknya 3 isteri yang lainnya dicarikan oleh isteri pertama. OK! Untuk masalah ini saya tidak terlalu heran karena mantan teman liqo�� saya dulu (kelahiran 1974) memiliki 3 orang isteri yang ceritanya hampir sama. Jadi buat saya biasa aja��.



Yang menarik adalah alasan mengapa beliau (DR. Gina) bukan hanya rela dimadu bahkan mencarikan isteri untuk suaminya. Argumentasinya adalah karena poligami untuk wanita semacam parameter untuk menilai tingkat tauhid yang ada di hati para wanita. Eitt.. jangan protes dulu. Maksud bukan berarti wanita yang tidak mau dipoligami tauhidnya gak bener! Bukan itu!



Penjelasannya dari beliauwati adalah sebagai berikut, ��Cinta kita hanyalah untuk Allah SWT. Suami itu hanya alat untuk mendekatkan diri kita pada Allah SWT (taqarrub ilaa Allah). Karena ia alat maka ia (suami) tidak layak untuk dicintai. Kalau saya menganjurkan suami saya untuk berpoligami (bahkan mencarikan) maka itu adalah exercise bagi saya untuk menghilangkan hubbud dunya (cinta dunia) dari hati saya.�� Subhanallah!



Saya dengan pengetahuan yang minim tentang dunia tazkiyyatun nafs akan mencoba memberi sedikit penjelasan. Mohon masukan jika penjelasan saya tidak mencapai sasaran. Bagi penganut tarekat, cinta pada Allah berarti tidak menyisakan sedikitpun ruang untuk cinta pada selain-Nya atau yang di-ridhai-Nya. Sehingga dalam terminology sufi biasanya ada treatment/latihan2 tertentu untuk membersihkan hati seorang hamba dari selain Allah. Mungkin akrab di telinga kita dari jaman kita kecil ungkapan-ungkapan tajalli, tahalli. Yang intinya adalah supaya hati kita bersih dari selain Allah. Latihan2 zikir juga dimaksudkan untuk hal tersebut. Untuk konteks poligami, menurut DR.Gina adalah salah satu latihan untuk membersihkan hati para wanita dari hubbud dunya. Karena ternyata hal inilah yang berat untuk wanita. Karena semakin kita merasa memiliki dan mencintai sesuatu, semakin kita merasa sulit untuk berpisah darinya, makin tak ingin kita berpisah darinya. Pada kasus cinta dunia, kita sudah memiliki tergantungan pada makhluq, bukan pada Allah SWT. Kebesaran makhluq sudah masuk dalam hati kita, sehingga posisi Allah di hati2 kita amat kecil, kalau tidak mau dikatakan tidak ada. Padahal yang namanya makhluq itu tidak ada yang abadi dan sempurna, sehingga kekecewaan demi kekecewaan adalah risiko jika kita tergantung atau amat berharap pada makhluq. Sedangkan jika seorang hamba bergantung hanya pada Allah apa pun keadaan yang dihadapi maka itu hanya akan menambah keimanan dan ketundukannya pada Allah Azza wa Jalla.



Pilihan seorang mu��min jika diuji adalah sebagaimana disebutkan dalam hadits : Jika ia mendapat kesenangan ia bersyukur dan itu baik bagi dan jika mendapat keburukan ia bersabar dan itu baik pula bagi. Demikian hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim menyebutnya.



Masalahnya adalah berapa banyak manusia yang memiliki kesadaran bahwa setiap ujian yang diberikan oleh Allah SWT bukan semata untuk melihat tingkat keimanan dan . Allah Maha Tahu, karena tanpa ujian pun Allah tahu tingkat keimanan dan ketundukan kita. Pihak yang butuh melihat sampai di mana tingkat keimanan dan ketundukan kita justru adalah diri kita sendiri. Sering kita merasa tidak perduli tentang hal ini, tidak butuh tentang bagaimana orang lain melihat kita, karena menurut kita yang tahu diri kita adalah diri kita sendiri. Kalau kita adalah pelaku muhasabah (introspeksi) yang konsisten saya percaya itu. Tapi masalahnya seberapa sering kita melakukannya? Untuk itulah (mungkin sekali lagi mungkin) Allah SWT membuat moment2 di mana kita bisa merenungi diri kita sendiri. Seberapa siap kita menghadapi kematian, seberapa siap kita menjawab pertanyaan di kubur kelak, seberapa siap kita dihisab oleh Allah SWT di hari di mana tiada tempat bernaung selain naungan-Nya dan yang lebih penting lagi seberapa layak kita masuk surga. Pertanyaan ini penting karena siapa tahu kita lebih layak masuk neraka dari pada surga.



Moment2 itu adalah ujian. Misalnya ujian terkena adza�� (sakit, musibah dll yang sifatnya tidak mengenakkan). Rasulullah SAW bersabda, ��Seorang akan ditimpa berbagai ketidakenakan tersebut sampai di satu di titik ia bersih dari dosa2, karena setiap cobaan buruk akan menghapuskan dosa.�� Di satu sisi saya percaya penuh jika seseorang sabar terhadap cobaan maka itu menjadi sebab baginya untuk diampuni dosanya dan itu atas rahmat dan kasih sayang Allah pada hamba-Nya. Tapi ada satu pendekatan lain, yang sifatnya tidak langsung tapi diperlukan usaha. Penjelasannya adalah saat sakit maka seorang hamba akan merasakan dirinya makin dekat dengan ajal. Dengan perasaan seperti itu, maka ia memperbanyak istighfar, taubat, ibadah dan melakukan kebajikan lainnya. Sehingga ketika ia sembuh dosa-dosanya sudah banyak yang terhapus dengan sebab aktivitas akhiratnya.



Dilihat dari sisi ini sebenarnya ujian atau cobaan tersebut lebih merupakan latihan (exercise) bagi kita untuk makin mendekatkan diri kita dengan Allah SWT. Hanya saja ia adalah moment yang diciptakan langsung oleh Allah SWT untuk para hamba-Nya, semata karena kasih sayang-Nya pada hamba2-Nya. Dalam satu hadits disebutkan jika Allah menghendaki kebaikan bagi hambaNya maka dicoba dan dicobanya terus hamba-Nya itu hingga ia bersih dari dosa. Hanya banyak di antara kita yang merasa ujian itu justru merupakan hak buruk buat kita atau dalam bahasa sinetron misteri sering dianggap hukuman akibat kelalaian. Padahal ia adalah kasih sayang dari Allah SWT. Ia adalah kesempatan yang diberikan Allah agar kita mau memperbaiki diri. Ia adalah moment memperbaiki diri. Walau ia berwujud suatu ketidaknyamanan.



Pada konteks poligami, saya melihat demikian banyak wanita yang merasa tersiksa, menderita dan disia-siakan suaminya karena praktek poligami. Demikian pula dengan anak2 yang dihasilkan, mereka langsung merasakan suatu bentuk keadilan baik pada ibu mereka dan pada diri mereka sendiri. Rekan2 sekalian memang benar sekali bahwa suami atau ayah kita adalah manusia biasa yang banyak kekurangan. Dan benar pula bahwa tidak ada manusia yang dapat berbuat adil 100%, bahkan Rasululllah SAW yang muliapun tidak dapat menyembunyikan kekurangannya dengan ungkapan yang diabadikan oleh al Qur��anul karim:



��Dan kamu sekali-kali, tidk akan dapat berlaku adil di antara isteri2(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian,��.�� (QS. An Nisa : 129).



Tapi apakah karena ungkapan tersebut kemudian syariat poligami tidak berlaku? Tidak! Ia adalah syariat Allah yang abadi. Kalaupun kita tidak dapat menerima perlakuan buruk suami/ayah kita sendiri, bukankah justru kita yang harus melihat ini sebagai peluang beramal shalih pada beliau. Taushiyah, dakwah bil hikmah adalah proyek besar kita pada suami/ayah kita sendiri. Karena pada dasarnya dakwah adalah bentuk cinta mendalam kita pada seseorang, di mana kita menghendaki kebaikan darinya, kebaikan yang dapat mengantarkannya pada keridha-an Allah SWT, keridhaan yang menjadikannya sebab masuk ke dalam surganya Allah SWT. Jika pada orang lain saja kita menghendaki kebaikan baginya agar ikut dalam berbagai proyek kebajikan, apalagi dia adalah orang terdekat kita, suami/ayah kita sendiri? Tentunya kita jauh mengharapkan kebaikan dan perbaikan pada beliau. Kalau kita membiarkan terus menerus di dalam ketidakbaikannya, terus menerus dalam kezhaliman, pertanyaannya adalah, ��Apa kita rela melihat orang yang kita cintai masuk neraka sedangkan menurut Rasulullah SAW penduduk surga yang menyesal adalah mereka yang melihat orang tua mereka di neraka sementara mereka sendiri berada di surga. Apakah kita enggan masuk surga bersama orang tua tercinta kita atau bersama pasangan kita selama di dunia?�� Semoga menjadi renungan bersama.



Berikut adalah hadits2 terkait dengan artikel di atas:



Abu Yahya Shuhaib bin Sinan ra. berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda, ��Sungguh unik urusan orang yang beriman itu. Semua urusannya, baik baginya. Hal itu hanya dimiliki oleh orang yang beriman. Jika dia memperoleh kegembiraan, dia bersukur, dan itu baik baginya. Jika ditimpa kesulitran, dia bersabar dan itu baik baginya. (HR. Muslim, Riyadush Shalihin No. 27)



Abu Sa��id ra. dan Abu Hurairah ra. berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda, ��Segala sesuatu yang menimpa seorang muslim, baik berupa rasa letih, sakit gelisah, sedih, gangguan, gundah gulana, maupun duri yang mengenainya (adalah ujian baginya). Dengan ujian itu, Allah mengampuni dosa-dosanya.�� (Muttafaqun ��alaih, Riyadush Shalihin No. 37)



Ibnu Mas��ud berkata, �ȡġ�..Beliau menjawab, ��Benar, karena itu. Dan, tidaklah seorang muslim terkenal hal yang menyakitkan –duri atau yang lain- kecuali Allah ampuni kesalahan-kesalahannya. Dosa-dosanya dihapus seperti pohon yang merontokkan daun-daunnya. (Muttafaqun alaih, Riyadush Shalihin No. 38)



Abu Hurairah ra. berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda, ��Barangsiapa yang dikehendaki baik oleh Allah, niscaya Allah akan memberikan cobaan kepadanya.�� (HR. Bukhari, Riyadush Shalihin No. 39)



Abu Hhurairah ra. berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda, ��Cobaan tidak henti-hentinya ditimpakan kepada orang beriman, baik laki-laki maupun perempuan, terhadap diri, anak dan hartanya, hingga ia bertemu Allah tanpa membawa dosa sedikitpun.�� (HR. Tirmidzi, ia berkata, ��Hadits ini hasan shahih��. Riyadhush shalihin No. 49)



Reference:

Nuzhatul Muttaqiin Syarah Riyaadush Shaalihiin,

Syarah Riyaadhush Shaalihiin, Syaikh Muhammad bin Shalih al ��Utsaimin
(poligamirasul.catatanku.com/2007_05/263.html)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berikan Komentar Anda dan Berbagilah Di Sini.