Jumat, 05 Juni 2020

Zionisme Internasional

Zionisme adalah gerakan politik yang digulirkan oleh sekelompok Yahudi yang memiliki cita-cita mendirikan negara bagi bangsa Yahudi di Palestina. Lebih jauh lagi mereka pun memiliki tujuan menciptakan pemerintahan Yahudi/Israel Raya yang merujuk kepada masa keemasan bangsa Israel pada masa pemerintahan Nabi Sulaiman. Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh David Ben Gurion dalampidatonya di depan mahasiswa Universitas Ibrani tahun 1950, “Setiap kalian wajib berjuang dan bekerja keras dalam perang dan diplomasi, hingga tiba saatnya berdiri imperium Israel Raya yang wilayahnya membentang dari Sungai Nil sampai Sungai Eufrat”[1]

Zionisme diambil dari kata Zion, nama sebuah bukit yang berada di sebelah barat daya kota Al Quds (Yerusalem) yang menurut kaum Zionis Yahudi, Zion merupakan tempat berdirinya Kerajaan Nabi Sulaiman. Disanalah mereka ingin mendirikan sebuah kekuasaan dengan Yerusalem sebagai ibukotanya.[2] Kata Zion pada masa awal sejarah Yahudi menjadi sinonim dengan penyebutan untuk kota Yerusalem. Setiap tahun, bangsa Yahudi memiliki adat untuk berhaji menuju bukit Zion sebagai bagian dari ibadah tahunan mereka.[3]

Sebelum muncul istilah Zionisme, istilah yang berkembang adalah “diaspora”, yang diperkenalkan seorang sejarawan Rusia Simon Duvnov (1860-1941). Dia berusaha untuk mencari akar permasalahan yang membuat Yahudi tersebar di berbagai belahan dunia dan mencari jawaban agar bangsa Yahudi bisa berdiri kembali sebagai satu bangsa yang bersatu di tanah yang sama. Duvnov meyakini bahwa warisan kitab-kitab Yahudi memiliki clues yang mengabarkan kemana seharusnya yahudi berkumpul dan bagaimana caranya. Hal ini terus dikaji oleh pemikir dan kalangan intelektual Yahudi di berbagai negara, sehingga memunculkan gerakan-gerakan untuk menjajah tanah Palestina.[4]

Istilah Zionis pertama kali diperkenalkan oleh Nathan Birnbaum pada tahun 1890. Lalu dipopulerkan oleh Theodore Hertzel, seorang wartawan Austria keturunan Yahudi, yang pada tahun 1896 M menerbitkan sebuah buku berjudul  Der Judenstaat (Negara Yahudi). Buku ini berisi seruan agar orang Yahudi yang bertebaran di mana-mana bertemu.  Maka pada 29 Oktober – 11 Nopember 1897, di kota Pall, Swiss, diselenggarakanlah Konferensi Zionisme Internasional pertama yang merekomendasikan berdirinya Negara Yahudi di Palestina.

Perintis Gerakan Zionisme Internasional

Rabi Yahudi Zevi Hert Kalisher : Dilahirkan di Bologna Italia, dan menjadi seorang Rabi Yahudi selama 40 tahun masa hidupnya. Dia terpengaruh dengan ideologi nasionalisme yang digadang bangsa Eropa di masa Enlightenment dan menyerukan bangsa Yahudi di Italia untuk mencari identitas nasionalisme mereka serta mengkaji tanah untuk membangun sebuah negara.
Rabi Yahudi Shlomo Al Kalai. Pada tahun 1837, ia menulis sebuah buku berjudul, “Wahai Israel, Dengarkan Aku”, yang menghembuskan sebuah pemikiran untuk membangun negara Yahudi di Palestina. Salah satu pernyataannya dalam buku itu, “…untuk membangun tanah jajahan bagi bangsa Yahudi di tanah suci untuk menunggu kedatangan juru selamat”
Moshe Heiss: Dilahirkan di kota Bonn Jerman. Ayahnya adalah seorang pedagang yang menjajakan dagangannya di kota Cologne. Ibu dan kakeknya adalah tokoh spiritual Yahudi di Jerman. Pada tahun 1862, ia menulis buku berjudul “Roma dan Al-Quds (Yerusalem)” dalam bahasa Jerman. Buku itu menjelaskan urgensi Yerusalem bagi bangsa Yahudi sangatlah penting, sebagaimana kedudukan Roma bagi warga Kristiani Internasional. Tokoh Yahudi ini merupakan penggagas terpenting ideologi Zionisme Internasional. Sebab karya tulisnya mempengaruhi kalangan intelektual Yahudi untuk merealisasikan tujuannya. Diantara ungkapannya yang terkenal adalah: “Kita harus bersama-sama bekerja untuk membangun sebuah kolonial Yahudi di tanah Palestina, yang terbentang dari Suez sampai Al Quds, dan dari Yordania sampai laut mediterania”
Koloni-koloni Yahudi di Palestina

Sebelum Konferensi Zionis Internasional yang pertama pada 1897, orang-orang Yahudi  sebenarnya telah datang ke Palestina, terutama dari Rusia dan Eropa Timur yang menderita akibat penganiayaan. Intensifnya gerakan anti-Semitisme di Rusia dalam dua dekade terakhir abad ke-19 menyebabkan berdirinya organisasi Hovevei Zion di Odessa[5] dan koloni-koloni  pertama di Palestina (1882), antara lain koloni Rishon le Zion di Yudea, Zichron Jacob di Samaria, dan Rosh Pina di Galilea. Pada tahun 1880-an pemukiman lainnya menyusul. Mereka kebanyakan orang Yahudi dari Rusia, Rumania, Galisia, dan Lithuania. Orang-orang kaya Yahudi di Barat seperti Baron Edmon de Rothchild banyak memberi sumbangan kepada orang-orang Yahudi yang datang ke Palestina. Bahkan pada 1891sengaja didirikan The Jewish Colonization Association (ICA) oleh Baron Maurice de Hirsch yang bertugas membeli tanah di Palestina dan menyediakan permodalan secukupnya bagi para pemukim.[6]

Merampas Tanah Palestina

Theodore Hertzl begitu piawai mengembangkan ideologi Zionis, ia nampaknya benar-benar menguasai senjata terpenting abad 20 yakni: media massa, lobi, dan public relations. Hertzel pun mampu memobilisir dana dari para hartawan Yahudi seperti Moses Hess atau Baron de Rothchilds di London. Setiap cabang gerakan Zionis di berbagai penjuru dunia selalu dianjurkan untuk menerbitkan koran atau majalah yang memuat artikel mengenai perjuangan mereka.

Dalam rangka merebut pengaruh, Hertzel beraudiensi dengan Paus di Roma, dengan Kaisar Wilhelm di Jerman, dengan Ratu Victoria di Inggris, atau bahkan dengan Sultan Turki Abdul Hamid II di Istambul.

Kepada Sultan Abdul Hamid II ditawarkan berbagai hal yang menggiurkan, asalkan ia mengizinkan bangsa Yahudi membeli tanah yang akan disiapkan menjadi pemukiman bangsa Yahudi. Ada tiga rayuan yang disampaikan Hertzel kepada Sultan Abdul Hamid II:

Yahudi menawarkan 120 juta frank Swiss untuk digunakan membangun armada laut kekhalifahan Turki.
Yahudi siap melunasi hutang-hutang luar negeri Kesultanan Turki.
Yahudi siap memberikan pinjaman tanpa bunga sebesar 35 juta lira emas
Tawaran manis itu ditolak mentah-mentah oleh Sultan Abdul Hamid II, karena beliau mengetahui rencana sesungguhnya di balik itu.

Baru setelah Turki Utsmani jatuh ke tangan Inggris pasca Perang Dunia I, kaum Zionis mendapatkan izin untuk membuka pemukiman di Palestina. Mulanya membeli tanah, tapi kemudian banyak melakukan penyerobotan tanah-tanah milik rakyat Palestina. Sebelumnya, sekitar tahun 1903, ketika terjadi penganiayaan terhadap Yahudi secara besar-besaran di Rusia, kelompok Zionis melalui Hertzl berunding dengan Inggris agar diberi tempat pemukiman baru bagi orang-orang Yahudi yang terusir itu. Inggris menawarkan Uganda, namun dalam Kongres ke-7 Organisasi Zionis Dunia tahun 1904 tawaran ini ditolak. Hanya satu tempat yang mereka inginkan, yaitu Palestina, tempat yang mereka anggap sebagai warisan leluhur mereka yang dijanjikan untuk mereka.[7]

Setelah gelombang pertama pada 1882, gelombang perpindahan Yahudi kedua terjadi antara 1904 – 1914 yang membawa sekitar 40 ribu orang Yahudi ke Palestina. Setelah berakhir Perang Dunia I terjadi gelombang perpindahan ketiga (1919 – 1923).

Pada 16 Mei 1916, terjadilah persetujuan rahasia “Sykes-Picot” antara Perancis dan Inggris yang menyepakati pembagian wilayah-wilayah kekuasaan Ustmani yang berhasil mereka rebut. Maka munculah negara-negara kecil bernama: Libanon, Suriah, Irak, Palestina, Yordania, Hijaz dan Yaman. Persetujuan ini dirahasiakan karena bertentangan dengan  janji-janji yang diberikan kepada Amir Makkah, Syarif Husein bin Ali. Dalam usaha untuk menghancurkan kekhalifahan Utsmani dan merampas tanah Palestina pemerintah Inggris menjanjikan kemerdekaan bagi negara-negara Arab dan berdirinya Khilafah Islamiyah Arabiyah yang dipimpin tokoh Mekkah atau Madinah, bila berhasil melepaskan diri dari Khilafah/Kesultanan Utsmaniyah. Wilayah kekuasaan yang dijanjikan kepada Syarif Husein bin Ali meliputi wilayah Hijaz (Makkah, Madinah, Thaif), Jazirah Arab, Irak, dan Syam.

Perjanjian Sykes – Picot ini memberikan peluang besar kepada orang-orang Yahudi untuk mendapatkan Palestina. Kesempatan itu semakin terbuka lebar pada (2 Nopember 1917, red.) saat Deklarasi Balfour (1917) ditandatangani. Dalam deklarasi itu, Inggris mendukung sepenuhnya niat bangsa Yahudi mendirikan negara Nasional di Palestina.[8] Dengan adanya deklarasi ini, Pihak Inggris membayangkan bahwasanya tanar air Yahudi akan menjadi dalih bagi klaim Inggris untuk menguasai negeri ini. Mereka juga membayangkan bahwa mereka akan mendapatkan dukungan dari warga Yahudi di Rusia dan Amerika dalam pertempuran melawan Jerman.[9] Perjanjian Balfour tersebut kemudian diperkuat oleh keputusan Majelis Umum PBB pada 24 Juli 1922 yang melegalisasi mandat Inggris atas Palestina.[10]

Pasca legalisasi mandat Inggris atas Palestina tersebut serta munculnya Nazisme di Jerman tahun 1933, terjadilah gelombang perpindahan keempat bangsa Yahudi ke Palestina sejak 1924. Sampai akhir Perang Dunia II jumlah penduduk Yahudi di Palestina mencapai sekitar 600.000 jiwa. Jumlah ini sangat signifikan mengingat jumlah penduduk Palestina seluruhnya hanya sekitar 1,3 juta jiwa.[11]

Pada tahun 1929, saat terjadi gelombang imigrasi orang-orang Yahudi ke Yerusalem, kaum Muslimin Palestina menyelenggarakan pertemuan besar untuk mendukung berdirinya Badan Pembela Masjid Al-Aqsha. Saat itu orang-orang Yahudi mulai berani melancarkan demonstrasi pamer kekuatan, yang kemudian dibalas dengan demonstrasi tandingan kaum Muslimin Palestina yang lebih besar.  Pada tahun itu pecahlah bentrokan antara Muslimin Palestina yang tidak bersenjata dengan Yahudi yang dipersenjatai Inggris. Peristiwa ini disusul dengan bentrokan-bentrokan lain dan penangkapan besar-besaran penduduk Palestina oleh Inggris. Pada  23 Agustus 1929 meletuslah perlawanan yang dikenal dengan Revolusi Buraq. Namun Inggris segera mematahkannya.

Pada 17 Juni 1930, Gubernur Jenderal Inggris di Palestina menghukum gantung 3 pejuang Palestina yang terlibat dalam Revolusi Buraq. Namun hal ini tidak membuat perlawanan kaum  Muslimin berhenti. Pada 25 Nopember 1935, Syaikh Izzudin Al-Qassam dengan beberapa rekannya menemui syahadah setelah pertempuran hebat melawan Inggris di Junain (Jenin). Bangsa Palestina pun melawan dengan cara melaksanakan pemogokan menyeluruh di Palestina selama kurang lebih 6 bulan sebagai bentuk protes dipersenjatainya Yahudi oleh Inggris. Tetapi pemogokan ini berhenti setelah adanya campur tangan beberapa pemimpin Arab atas desakan Inggris. [12]

Naskah Putih (White Paper)

Pada tanggal 17 Mei 1939 Inggris mengumumkan Naskah Putih yang berisi kebijakan-kebijakan baru tentang Palestina yang mengusulkan pendirian negara Palestina Merdeka dalam sepuluh tahun yang dihubungkan dengan Inggris oleh suatu perjanjian khusus. Ketentuan terpenting adalah mengenai imigrasi dan transfer tanah. Inggris menyetujui tuntutan bangsa Arab Palestina, yaitu para imigran dibatasi hingga 75.000 orang untuk lima tahun berikutnya, dan setelah itu dihentikan sama sekali. Selain itu Palestina akan dibagi ke dalam tiga zona: pertama, zona yang diperbolehkan transfer tanah dari orang Arab ke Yahudi; kedua, zona yang membatasi transfer tanah; dan ketiga, zona larangan adanya transfer tanah.[13]

Zionis Yahudi tidak menyetujui kebijakan tersebut karena dianggap telah menyalahi Perjanjian Balfour. Mereka kemudian menuntut agar Inggris mencabut kebijakan itu. Belum sempat ketegangan antara kedua belah pihak reda, meletuslah Perang Dunia II pada bulan September 1939 yang ditandai dengan jatuhnya Pearl Harbour ke tangan Jepang.

Dukungan Amerika kepada Zionisme

Pada tanggal 11 Mei 1942, Organisasi Zionis Amerika bersidang di New York dan menghasilkan Program Biltmore yang diajukan David Ben Gurion, Ketua Eksekutif Agen Yahudi. Program Biltmore berisi:

Pendirian negara Yahudi yang mencakup seluruh Palestina;
Pembentukan militer Yahudi;
Penolakan Naskah Putih tahun 1939 dan diteruskannya imigrasi tak terbatas ke Palestina yang tidak hanya diawasi Inggris, tapi juga oleh Agen Yahudi.[14]
Zionis Amerika juga melobi Kongres Amerika Serikat agar mendukung usaha-usaha mereka untuk membatalkan Naskah Putih hingga kedatangan mereka ke Palestina tidak perlu dibatasi. Banyak badan legislatif negara bagian di AS yang mengesahkan resolusi pro-Zionis di atas. Bahkan pada bulan Februari 1944 Kongres AS mengeluarkan sebuah resolusi yang berisi permintaan untuk dibukanya kembali Palestina untuk imigran Yahudi tanpa pembatasan dan pembangunan kembali Palestina sebagai suatu “persemakmuran Yahudi yang bebas dan demokratis.” Resolusi ini juga mengharapkan campur tangan pemerintah AS secara resmi untuk tujuan itu.

Resolusi Kongres AS ini memang tidak sampai jadi diberlakukan. Jenderal Marshall berkeberatan atas resolusi itu karena hanya akan merugikan hasil perang Sekutu. Namun, berkat lobi-lobi yang dilakukan agen-agen Zionis kepada para petinggi AS, niat kaum Yahudi itu secara resmi mendapat dukungan dari Presiden Amerika Franklin D. Roosevelt.[15]

Pemerintah Amerika terus menekan Inggris agar mencabut kebijakan Naskah Putih-nya. Berkali-kali Inggris melakukan pembicaraan dengan pihak AS. Pihak Inggris tetap ingin mempertahankan diplomasi tradisional mereka untuk tidak memusuhi Arab. Oleh sebab itu, Inggris tetap bersikeras untuk tetap melakukan pembatasan bagi imigran Yahudi. Masalah tetap tidak selesai. Akhirnya, Inggris membawa masalah ini ke PBB pada tanggal 2 April 1947.

Berdirinya Negara Zionis Israel

Pada 15 Mei 1947 Majelis Umum PBB membentuk Komisi Khusus untuk urusan Palestina. Komisi Khusus ini menyelesaikan tugasnya pada bulan Agustus 1947 dan menghasilkan sejumlah laporan, antara lain berisi pentingnya Yahudi mempunyai satu negara di Palestina dan mengamankan nasib imigran Yahudi yang semakin bertambah. Sedangkan masalah Arab, menurut komisi ini perlu didirikan sebuah negara Arab Palestina merdeka.

Dalam Majelis PBB inilah Zionis Yahudi semakin mendapatkan angin segar karena mayoritas dukungan di Majelis Umum berasal dari Amerika dan Karibia yang menyokong mereka. Pada 29 Nopember 1947 Majelis Umum PBB mengeluarkan keputusan No. 181 tentang pembagian Palestina berdasarkan hasil penelitian Komisi Khusus untuk urusan Palestina. Melalui pembagian wilayah ini Yahudi mendapatkan 2/3 wilayah Palestina meliputi: Yaffa, Galilea Timur sampai Lembah Esdraelon, daerah pantai dari Haifa hingga ke Selatan Yaffa, dan sebagian besar Negeb. Sisanya di bagian tengah dan timur Palestina diserahkan kepada bangsa Arab. Sementara Yerusalem dan Bethlehem berada di bawah pengawasan pemerintahan yang bertanggung jawab langsung kepada Dewan Perwalian PBB. Keputusan PBB juga memperhatikan keputusan Inggris yang akan menghadiri mandat atas Palestina pada tanggal 1 Agustus 1948.[16] Akibat pembagian wilayah tersebut bangsa Palestina melancarkan demonstrasi dan penolakan serta bantahan terhadap hasil penelitian internasional PBB tersebut. Demonstrasi-demonstrasi serupa dilancarkan di Mesir, Suria, Libanon dan negara-negara Arab lainnya.

Pada bulan Januari 1948 detasemen bersenjata Arab mulai memasuki Palestina dan menyerang perkampungan Yahudi. Hingga 1 Februari 1948 perang ini menelan korban lebih dari 2.500 orang dan setelah itu setiaphari korban berjatuhan.

Menghadapi kekerasan ini, Inggris menyatakan bahwa karena Arab dan Yahudi tidak menyetujui penyelesaian, ia tidak akan membantu PBB dalam melaksanakan rencana pembagian Palestina, dan akan mengakhiri mandatnya pada tanggal 15 Mei 1948, serta akan menentang masuknya Komisi Palestina PBB ke negara ini.

Oposisi Arab juga mempengaruhi politik AS. Pada tanggal 19 Maret 1948, AS menyatakan di depan Dewan Keamanan PBB bahwa bila pembagian tidak dapat dilaksanakan, Palestina harus diawasi oleh perwalian sementara PBB. Perubahan politik ini mendatangkan protes dari Zionis. Sidang khusus DK PBB lainnnya (16 April dan 15 Mei) memperbincangkan proposal baru AS, namun gagal mengahasilkan kesepakatan. Soviet, khususnya, bersikeras atas pelaksanaan resolusi pembagian November 1947. Akhirnya Majelis Umum menyarankan penunjukkan mediator dan komisaris PBB bagi Yerusalem.

Pada 14 Mei 1948, secara resmi mengakhiri mandatnya di Palestina. Namun, pada hari yang sama Dewan Nasional Yahudi di Tel Aviv menmproklamasikan negara Yahudi Israel. Beberapa saat kemudian Presiden Amerika Serikat Harry S. Truman mengakui secara de facto negara baru ini atas nama Amerika Serikat.

Sejak saat itulah terus bergulir konflik berkepanjangan antara bangsa Arab Palestina dengan Yahudi Zionis Israel hingga saat ini.

Klaim-klaim Zionis Yahudi atas Palestina

Penjajahan Zionis atas Palestina didasari klaim-klaim serta mitos-mitos relijius dan historis. Berdasarkan mitos relijius mereka menganggap bahwa Allah telah menjadikan Palestina sebagai “Tanah yang dijanjikan”. Sedangkan relasi historis dengan Palestina menurut mereka adalah karena mereka pernah berkuasa, bermukim disana dan punya hubungan psikis dan spiritual dengan negeri ini.

Akan tetapi bangsa Palestina, khususnya kaum muslimin, tetap konsisten pada pendirian bahwa Zionis Yahudi Israel tidak berhak sama sekali atas negeri ini. Alasannya adalah, pertama, dari sudut pandang agama, wilayah ini diberikan pada bangsa Yahudi di saat mereka menjunjung tinggi ajaran tauhid (monotheisme) dengan konsisten di bawah kepemimpinan para rasul dan pemuka agama mereka. Adapun apabila mereka melenceng dari kebenaran dan berupaya mendistorsinya, bahkan membunuhi para Nabi serta membuat keonaran di muka bumi, hilanglah keabsahan relijius yang mereka klaimkan itu. Yang berhak atas negeri ini justru adalah kaum Muslimin, karena mereka adalah pewaris panji tauhid. Jadi, persoalannya tidak terkait dengan bangsa, keturunan, dan nasionalisme. Namun erat hubungannya dengan persoalan ikut tidaknya mereka dengan ajaran tauhid.

Allah memberitahu Ibrahim bahwa keimanan dan kepemimpinannya tidak dapat dipegang oleh mereka  yang zalim dari keturunan dan anak cucunya. Karena, sekali lagi, persoalannya terkait dengan konsistensi terhadap manhaj dan ajaran Allah. Kalau pun persoalannya adalah masalah garis keturunan, maka orang-orang Israel tidak berhak mengklaim bahwa hanya mereka satu-satunya yang berhak atas kepemimpinan. Pasalnya, Ismail dan keturunannya pun (bangsa Arab) berhak atas janji yang diberikan pada Ibrahim.

Alasan kedua, menanggapi klaim dari sisi historis, maka sesungguhnya pemerintahan bangsa Israel di Palestina sangatlah singkat, tidak lebih dari 4 abad di sebagian wilayah Palestina dan bukan seluruhnya. Sedangkan pemerintahan Islam berlangsung disana selama 12 abad (636-1917 M) yang sempat dijeda oleh peperangan Salib untuk beberapa masa. Selain itu, sebagian besar bangsa Yahudi telah meninggalkan wilayah Palestina dan terputus kontak dengan negeri ini selama 18 abad (sejak 135 M hinga abad 20), sedangkan penduduk pribumi asli Palestina —yang kemudian masuk Islam—belum pernah meninggalkan negeri ini selama 4.500 tahun yang lalu hingga tiba waktu pendeportasian besar-besaran yang dilakukan Zionis pada tahun 1948 M.

Satu hal lagi, sesungguhnya lebih dari 80% Yahudi di zaman ini tidak jelas hubungannya sama sekali dengan bangsa Israel, baik keturunan maupun sejarah. Hal itu karena sebagian besar Yahudi kontemporer adalah bangsa Yahudi Khazar yang berasal dari kabilah Tatar, Turki kuno yang berdiam di wilayah Kokaz dataran tinggi Georgia (selatan Rusia). Mereka berkonversi dengan Yahudi pada abad 8 SM di bawah pimpinan rajanya Bolan.Tahun 740 M saat kerajaan mereka runtuh, tersebarlah mereka ke berbagai penjuru Rusia dan timur Eropa. Mereka kemudian disebut Yahudi Askhenazi. Golongan Yahudi ini adalah penganut sekte sesat Qabalisme. Golongan yang lain adalah Yahudi Sephardim, berasal dari kerajaan Yahuda yang berpegang pada Taurat Musa, saat ini mereka paling menderita akibat berkembangnya gerakan Zionis. Mereka akhirnya terusir dari kampung halamannya di berbagai negara Arab. Ketika beremigrasi ke Israel pun mereka menjadi warga negara kelas dua dan mendapat perlakuan diskriminatif dari Yahudi Askhenazi yang menguasai politik dan ekonomi negara. [17]

Yahudi Penentang Zionisme

Sebagian pihak menyatakan bahwa Zionisme bukanlah murni gerakan keagamaan Yahudi. Hingga saat ini gerakan Zionis terus berlanjut terutama untuk melakukan advokasi dan menjaga eksistensi negara Yahudi. Mereka dianggap menggunakan doktrin-doktrin agama Yahudi yang seringkali dipaksakan agar sesuai dengan keinginan mereka.

Oleh karena itu, gerakan Zionisme juga mendapat tantangan dari sebagian kalangan agamawan Yahudi sendiri. Tantangan antara lain muncul dari Yahudi Ultra Ortodoks. Mereka tidak menyetujui aspek politik gerakan ini. Mereka percaya bahwa kembali ke Zion (tanah yang dijanjikan) harus merupakan takdir Tuhan, bukan kehendak duniawi. Di pihak lain, kelompok sosialis dan komunis menganggap Zionisme sebagai gerakan reaksioner kaum borjuis. Para rabbi Yahudi dan pengikutnya menentang Zionisme juga karena karakter nasionalnya. Mereka percaya Yudaisme adalah agama bukan kebangsaan, mereka cenderung menolak konsep politik Zionisme.

Di Inggris, dua organisasi Yahudi, Badan Perwakilan Yahudi Inggris dan Asosiasi Inggris Yahudi, menentang Zionisme juga atas dasar kepercayaan bahwa Yudaisme adalah agama, bukan bangsa seperti klaim para Zionis. Oleh sebab itu menurut mereka tidak perlu orang-orang Yahudi memiliki negara nasional sendiri. Tentangan yang sama juga datang dari Komisi Yahudi di Amerika pimpinan Jacob H. Schiff, Louis Marshall, serta Mayer Sulzberger. Protes keras sering mereka lancarkan menentang keinginan-keinginan politik kaum Zionis.[18]

Zionisme Internasional hakikatnya adalah gerakan nasionalisme yang bercampur baur dengan gerakan keagamaan Yahudi ekstrim; ia merupakan proyek borjuasi yang ingin mencaplok apa saja yang menghalanginya, berjalan beriringan dengan kelompok-kelompok yang terbuai romantisme kejayaan ras Yahudi.

Protokol Zion[19]

Salah satu pembicaraan kontroversial terkait Zionisme adalah apa yang disebut dengan Protocol of Zions atau Protokolat Zionis. Dokumen ini berisi program-program Zionis untuk menaklukkan dunia.  Sebagian pihak menganggapnya sebagai sebuah dokumen palsu yang sengaja di buat-buat untuk kepentingan kelompok anti Semit. Namun sebagian pihak lain menganggapnya sebagai dokumen yang dapat dipercaya. Bahkan tokoh sekaliber Henry Ford pun masuk ke dalam kelompok ini. Dalam bukunya The International Jew (1976), Henry Ford menyatakan, “Jika saya ditanya tentang asli tidaknya Protokolat Zionis, maka saya tidak akan mau masuk ke dalam perdebatan panjang itu. Satu-satunya hal yang ingin saya katakan berkenaan dengannya adalah, bahwa semua kejadian yang ada di dunia ini sejalan dengannya…”

Protokolat Zionis pertama kali dipaparkan oleh Mayer Amshell Bauer (Rothschild I) [20] dalam sebuah pertemuan 13 tokoh berpengaruh Yahudi di Judenstrasse, Frankfurt pada tahun 1773, guna membahas berbagai perkembangan Eropa terakhir, termasuk mengevaluasi hasil-hasil upaya Konspirasi di Inggris.[21] Protokolat yang dipaparkan Rothschild terdiri dari 25 butir langkah strategis bagi kelompok Zionis Internasional untuk menaklukkan dunia. Ke-25 butir langkah strategis inilah yang kelak di tahun 1897 disahkan menjadi agenda bersama gerakan Zionis Internasional.

Protokolat ini bocor pada tahun 1921 dan sampai ke tangan Pendeta Orthodox Rusia, Sergey Nylos, yang kemudian menerjemahkannya ke dalam bahasa Rusia. Dan pada tahun 1927, diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh wartawan Inggris, Victor E. Marden, dengan judul “The Protocols of The Learned Elders of Zion”.

Saat ini Protokolat Zionis yang dikenal hanya berjumlah 24 butir, namun Protokolat Zion yang berasal dari Rotshchild sesungguhnya berisi 25 butir, sebagaimana sudah disebutkan sebelumnya. Inilah intisarinya:

Manusia itu lebih banyak cenderung pada kejahatan ketimbang kebaikan. Sebab itu, Konspirasi harus mewujudkan ‘hasrat alami’ manusia ini. Hal ini akan diterapkan pada sistem pemerintahan dan kekuasaan. Bukankah pada masa dahulu manusia tunduk kepada penguasa tanpa pernah mengeluarkan kritik atau pembangkangan? Undang-undang hanyalah alat untuk membatasi rakyat, bukan untuk penguasa.
Kebebasan politik sesungguhnya utopis. Walau begitu, Konspirasi harus mempropagandakan ini ke tengah rakyat. Jika hal itu sudah dimakan rakyat, maka rakyat akan mudah membuang segala hak dan fasilitas yang telah didapatinya dari penguasa guna memperjuangkan idealisme yang utopis itu. Saat itulah, konspirasi bisa merebut hak dan fasilitas mereka.
Kekuatan uang selalu bisa mengalahkan segalanya. Agama yang bisa menguasai rakyat pada masa dahulu, kini mulai digulung dengan kampanye kebebasan. Namun rakyat banyak tidak tahu harus melakukan apa dengan kebebasan itu. Inilah tugas konspirasi untuk mengisinya demi kekuasaan, dengan kekuatan uang.
Demi tujuan, segala cara boleh dilakukan. Siapa pun yang ingin berkuasa, dia mestilah meraihnya dengan licik, pemerasan, dan pembalikkan opini. Keluhuran budi, etika, moral, dan sebagainya adalah keburukan dalam dunia politik.
Kebenaran adalah kekuatan konspirasi. Dengan kekuatan, segala yang diinginkan akan terlaksana.
Bagi kita yang hendak menaklukkan dunia secara finansial, kita harus tetap menjaga kerahasiaan. Suatu saat, kekuatan konspirasi akan mencapai tingkat di mana tidak ada kekuatan lain yang berani untuk menghalangi atau menghancurkannya. Setiap kecerobohan dari dalam, akan merusak program besar yang telah ditulis berabad-abad oleh para pendeta Yahudi.
Simpati rakyat harus diambil agar mereka bisa dimanfaatkan untuk kepentingan konspirasi. Massa rakyat adalah buta dan mudah dipengaruhi. Penguasa tidak akan bisa menggiring rakyat kecuali ia berlaku sebagai diktator. Inilah satu-satunya jalan.
Beberapa sarana untuk mencapai tujuan adalah: Minuman keras, narkotika, perusakan moral, seks, suap, dan sebagainya. Hal ini sangat penting untuk menghancurkan norma-norma kesusilaan masyarakat. Untuk itu, Konspirasi harus merekrut dan mendidik tenaga-tenaga muda untuk dijadikan sarana pencapaian tujuan tersebut.
Konspirasi akan menyalakan api peperangan secara terselubung. Bermain di kedua belah pihak. Sehingga Konspirasi akan memperoleh manfaat besar tetapi tetap aman dan efisien. Rakyat akan dilanda kecemasan yang mempermudah bagi konspirasi untuk menguasainya.
Konspirasi sengaja memproduksi slogan agar menjadi ‘tuhan’ bagi rakyat. Dengan slogan itu, pemerintahan aristokrasi keturunan yang tengah berkuasa di Perancis akan diruntuhkan. Setelah itu, Konspirasi akan membangun sebuah pemerintahan yang sesuai dengan Konspirasi.
Perang yang dikobarkan konspirasi secara diam-diam harus menyeret negara tetangga agar mereka terjebak utang. Konspirasi akan memetik keuntungan dari kondisi ini.
Pemerintahan bentukan Konspirasi harus diisi dengan orang-orang yang tunduk pada keinginan konspirasi. Tidak bisa lain.
Dengan emas, konspirasi akan menguasai opini dunia. Satu orang Yahudi yang menjadi korban sama dengan seribu orang non-Yahudi (Gentiles/Ghoyim) sebagai balasannya.
Setelah konspirasi berhasil merebut kekuasaan, maka pemerintahan baru yang dibentuk harus membasmi rezim lama yang dianggap bertanggungjawab atas terjadinya semua kekacauan ini. Hal tersebut akan menjadikan rakyat begitu percaya kepada konspirasi bahwa pemerintahan yang baru adalah pelindung dan pahlawan dimata mereka.
Krisis ekonomi yang dibuat akan memberikan hak baru kepada konspirasi, yaitu hak pemilik modal dalam penentuan arah kekuasaan. Ini akan menjadi kekuasaan turunan.
Penyusupan ke dalam jantung Freemason Eropa agar bisa mengefektifkan dan mengefisienkannya. Pembentukan Bluemasonry akan bisa dijadikan alat bagi konspirasi untuk memuluskan tujuannya.
Konspirasi akan membakar semangat rakyat hingga ke tingkat histeria. Saat itu rakyat akan menghancurkan apa saja yang kita mau, termasuk hukum dan agama. Kita akan mudah menghapus nama Tuhan dan susila dari kehidupan.
Perang jalanan harus ditimbulkan untuk membuat massa panik. Konspirasi akan mengambil keuntungan dari situasi itu.
Konspirasi akan menciptakan diplomat-diplomatnya untuk berfungsi setelah perang usai. Mereka akan menjadi penasehat politik, ekonomi, dan keuangan bagi rezim baru dan juga di tingkat internasional. Dengan demikian, konspirasi bisa semakin menancapkan kukunya dari balik layar.
Monopoli kegiatan perekonomian raksasa dengan dukungan modal yang dimiliki konspirasi adalah syarat utama untuk menundukkan dunia, hingga tidak ada satu kekutan non-Yahudi pun yang bisa menandinginya. Dengan demikian, kita bisa bebas memainkan krisis suatu negeri.
Penguasaan kekayaan alam negeri-negeri non-Yahudi mutlak dilakukan.
Meletuskan perang dan memberinya—menjual—senjata yang paling mematikan akan mempercepat penguasaan suatu negeri, yang tinggal dihuni oleh fakir miskin.
Satu rezim terselubung akan muncul setelah konspirasi berhasil melaksanakan programnya.
Pemuda harus dikuasai dan menjadikan mereka sebagai budak-budak konspirasi dengan jalan penyebarluasan dekadensi moral dan paham yang menyesatkan.
Konspirasi akan menyalahgunakan undang-undang yang ada pada suatu negara hingga negara tersebut hancur karenanya.
*****

Demikianlah sekilas ulasan tentang Zionisme Internasional, semoga menanamkan kesadaran pada diri kita untuk senantiasa waspada dalam mengarungi medan perjuangan. Wallahul Musta’an.



CATATAN KAKI:
[1] Dikutip Muhammad Edgar Hamas dari Aqliyyah Tausi’iyyah lil Yahud, DR. Ali Muhammad Muqbil.

[2] Al-Mausu’atul Muyassarah fil Adyani wal Madzabihil Mu’ashirah, hal. 331.

[3] Dikutip Muhammad Edgar Hamas dari Al Irhab wa Ash Shuhyuniyah fi Filistin, Mansor Mu’adhah Sa’d Al Umari, hal. 39.

[4] Dikutip Muhammad Edgar Hamas dari Al Idilujiyah Ash Shuhyuniyah; Dirasat Halat fi Ilm Ijtima’ Al Ma’rifah. Silsilah Kutub Tsaqafiyah Syahriyah, Abdul Wahab bin Muhammad Al-Masiri, Majlis Al Wathani li Ats Tsaqafah wa Al Funun wa Al Adab. Kuwait. 1978. Hal. 98.

[5] Kota yang yang terletak di sebelah barat Ukraina.

[6] Lihat: HAMAS Kenapa Dibenci Amerika?, Tiar Anwar Bachtiar, hal. 38, Penerbit Hikmah.

[7] Dikutip oleh Tiar Anwar Bachtiar dari Timur Tengah di Tengah Kancah Dunia, George Lenczowski, Sinar Baru Algesindo Bandung, 1993, hal. 234 – 235.

[8] Sejarah Sosial Umat Islam (Jilid II; Jakarta: Rajawali Press, 1999), Ira M. Lapidus, hal. 70.

[9] HAMAS Kenapa Dibenci Amerika?, Tiar Anwar Bachtiar, hal. 43 – 44, Penerbit Hikmah.

[10] Lihat: Inthifadhah: Gerakan Perlawanan Islam Palestina, Kelompok Studi dan Pencinta Dunia Islam, 1989, Jakarta.

[11] Lihat: HAMAS Kenapa Dibenci Amerika?, Tiar Anwar Bachtiar, hal. 44, Penerbit Hikmah.

[12] Lihat: Inthifadhah: Gerakan Perlawanan Islam Palestina, Kelompok Studi dan Pencinta Dunia Islam, 1989, Jakarta.

[13] Lihat: Timur Tengah di Tengah Kancah Dunia, George Lenczowski, Sinar Baru Algesindo Bandung, 1993, hal. 243

[14] George Lenczowski. Ibid. Hal. 245

[15] George Lenczowski. Ibid. Hal. 246

[16] George Lenczowski. Ibid. Hal. 248 – 250

[17] Lihat: Palestina: Sejarah, Perkembangan, dan Konspirasi, DR. Muhsin Muhammad Shaleh, Gema Insani Press, 2002, hal. 26 – 29.

[18] George Lenczowski. Ibid. Hal. 235 – 237.

[19] Pembahasan mengenai Protokol Zion ini merujuk ke dua tulisan di: Apa Itu Protokal Zionis dan Seberapa Bahayanya bagi Umat Islam (http://www.panjimas.com) dan Protocol of Zion Lahir di Rumah Rotschildz Tahun 1773 (https://www.eramuslim.com)

[20] Dia adalah anak bungsu dari Moses Amshell Bauer, seorang pemilik modal Yahudi berpengaruh. Rothchild meneruskan usaha warisan ayahnya yang kemudian berkembang pesat. Ia dikenal sebagai seorang bankir-politikus yang berdarah dingin dan disebut-sebut sebagai tokoh sentral dalam konspirasi Yahudi Internasional atas Perancis. Konspirasi atas Perancis ini dilakukan setelah Inggris berhasil dikuasai dan para tokoh Mason berhasil memproklamirkan kemerdekaan Amerika.

[21] Eropa di abad ke-18 merupakan sebuah benua yang terdiri dari banyak kerajaan besar kecil dan sejumlah wilayah kecil yang disebut principalis, semacam kabupaten yang merdeka dan otonom seperti misalnya Monaco dan Lechtenstein. Inggris dan Perancis merupakan dua negara kerajaan besar dan paling berpengaruh.

(Sumber : tarbawiyah.com - dimuat 11 Juli 2018)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berikan Komentar Anda dan Berbagilah Di Sini.